Rabu, 09 Juni 2010

Silsilah Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo

Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo dilahirkan di Afdeling Ledok (Wonosobo) pada tahun 1562 M. Menurut riwayat, beliau adalah keturunan ke 32 dari Baginda Rosulullah Muhammad saw.

Silsilah selengkapnya adalah sebagai berikut.

1.Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban, ibni
2.R. Singosuto, Mojotengah Garung Wonosobo, ibni
3.R. Alim Marsitojoyo, ibni
4.R. Martogati, Wonokromo Garung Wonosobo, ibni
5.R. Dalem Agung / RA. Nyai Dalem Agung , Mojotengah Garung Wonosobo, ibni
6.R.A Nyai / R. Kyai Dilem Bandok Wonokromo Garung Wonosobo, ibni
7.R.A Nyai Bekel Karangkobar Banjarnegara, ibni
8.R.A Nyai Segati / Pangeran Bayat, Tegalsari Garung Wonosobo, ibni
9.Sunan Kudus, ibni
10.Syarifah ( istri Sunan Ngudung ), ibni
11.Sunan Ampel, ibni
12.Maulana Malik Ibrahim, ibni
13.Syekh Jumadil Kubro, Pondok Dukuh Semarang, ibni
14.Ahmad Syah Jalal ( Jalaluddin Khan ), ibni
15.Abdullah ( al - Azhamat ) Khan, ibni
16.Abdul Malik ( Ahmad Khan ), ibni
17.Alwi Ammi al - Faqih , ibni
18.Muhammad Shahib Mirbath, ibni
19.Ali Khali' Qasam, ibni
20.Alwi ats - Tsani, ibni
21.Muhammad Sahibus Saumiah, ibni
22.Alwi Awwal, ibni
23.Ubaidullah, ibni
24.Ahmad al - Muhajir, ibni
25.Isa ar - Rummi, ibni
26.Muhammad al - Naqib, ibni
27.Ali al - Uraidhi, ibni
28.Ja'far ash - Shadiq, ibni
29.Muhammad al - Baqir, ibni
30.Ali Zainal Abidin, ibni
31.Husein, ibni
32.Sayyidatina Fatimah, Ra, ibni
33.Rosulullah Muhammad S. A. W

Kisah Masa Muda Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban, Bulus Purworejo

Saat muda, Beliau pergi menuntut ilmu ke Pekalongan. Beliau mengaji pada ulama besar di sana sampai beberapa lama, kemudian meneruskan menuntut ilmu di Mekah dalam waktu yang cukup lama pula hingga Beliau menjadi seorang ulama besar. Di Mekah Sayyid Ahmad Muhammad Alim mempelajari Tarekat Satariyah. Sepulang dari Mekah, Beliau kemudian menetap di kampung Krapyak, kota Pekalongan bagian utara, menggantikan gurunya sampai beliau menikah dan mempunyai keturunan di sana.

Keturunannya hingga sekarang banyak yang disebut Basaiban seperti : Sayyid / Habib Abu Tholib, Sayyid / Habib Toha dan lain – lain. Ada juga keturunan Beliau yang menjadi Bupati Magelang yakni R. Tumenggung Danu Sugondo, dimana adiknya juga menjadi bupati Purworejo yakni R. Tumenggung Chasan Danuningrat.

Atas permintaan para murid yang berasal dari Wonosobo, Beliau kemudian pindah ke Wonosobo. Pertama kali bermukim adalah di desa Cekelan kecamatan Kepil. Di sana beliau mendirikan pondok pesantren dan masjid yang hingga sekarang masih ada dan berkembang pesat. Pembuatannya dibantu olehbesan Beliau yang bernama R. Tumenggung Bawad ( pensiunan ) pembesar dari Kraton Yogyakarta yang bernama Wiradhaha / ayah Kyai Tolabudin ( makam di Blimbing Bruno Purworejo ) dibantu juga oleh Kyai Karangmalang ( ayah Kyai Imam Puro ) yang telah mengangkat saudara. Dikisahkan mereka membawa pohon Aren dan Pohon jambe / Pinang. Dari desa Cekelan, Beliau kemudian pindah ke desa Gunung Tawang, kecamatan Selomerto Wonosobo . Di sana pun Sayyid Ahmad Muhammad Alim mendirikan pondok dan masjid.

Setelah bermukim di desa Gunung Tawang, beliau pindah ke arah utara, sampai di dekat dukuh Kendal Mangkang, petilasan Kyai Ageng Gribig dari Klaten Surakarta sewaktu membuat pertahanan saat memerangi Belanda di Batavia ( Jakarta ). Dari tempat tersebut, beliau pindah ke arah timur sampai di Candiroto, akan tetapi tidak dikisahkan hal pendirian masjid dan pondok di sana. Perpindahan selanjutnya adalah di desa Traji, yang berada di sebelah utara Parakan Temanggung, dekat desa Mandensari. Di sana didirikan pula pondok yang sampai sekarang masih ada. Dari desa Traji, Sayyid Ahmad Muhammad Alim bermukim sebentar di desa Bulu, Salaman Magelang. Di sana didirikan pula pondok dengan dibantu oleh Kyai Muhyi Bulu. Pesantren tersebut hingga sekarang pun masih. Rute perpindahan selanjutnya adalah di desa Paguan Kaliboto Purworejo, dan seperti yang sudah – sudah, di sana pun didirikan pondok yang hingga kini pesantren itu masih. Dari Kaliboto, atas permintaan salah seorang murid setianya yakni seorang mantri polisi Beliau pindah ke Pancalan dan mendirikan pesantren sehingga daerah itu menjadi aman. Pondok pesantren tersebut hingga sekarang masih, kemudian Beliau pindah ke desa Nglegok Baledono Purworejo, mendiami bekas pondok Kyai Asnawi ( R. Tumenggung Djoyomenduro, putra kyai Syamsyiah Pengulu Landrat/ Ketua Pengadilan Negeri jaman kejawen yang makamnya terletak di Pangenjurutengah ). Kyai Asnawi mempunyai banyak pondok pesantren.

Dari Baledono, Sayyid Ahmad Muhammad Alim pindah ke Kali Kepuh Beji. Masjid digotong oleh para santri yang jumlahnya sangat banyak. Perpindahan ke Kali Kepuh beji pada awalnya atas perintah Bupati Purworejo yang pertama pada jaman Belanda yang bernama Raden Mas Cokrojoyo, dikarenakan ketakutan Belanda akan adanya penyerangan sewaktu – waktu yang akan dilakukan oleh Sayyid Ahmad Muhammad Alim dan para santrinya. Begitu juga dengan perpindahan Beliau ke Bulus yang merupakan perintah dari Bupati, yang tujuan sebenarnya adalah agar Sayyid Ahmad Muhammad Alim mati dimangsa Brekasakan Hutan ( sejenis hewan dan mahluk halus ), lelembut, harimau, celeng / babi hutan dan warak ( sejenis badak ), sebab di sana terdapat sebuah beji ( semacam mata air ) yang di dalamnya terdapat sepasang bulus ( sejenis kura – kura ) berwarna putih yang merupakan mahluk halus. Maka daerah Bulus saat itu terkenal dengan sebutan Jalma Mara Jalma Mati yang artinya manusia mendekat, manusia mati. Sayyid Ahmad Muhammad Alim tetap selamat dan bahkan kemudian tempat tersebut menjadi desa yang makmur dan pesantrennya berkembang pesat hingga menyebar menjadi cikal bakal lahirnya pesantren – pesantren yang ada di Purworejo dan sekitarnya. Bulus yang tadinya hutan yang sangat angker beliau ubah menjadi desa yang makmur bersama para muridnya yang berasal dari berbagai daerah antara lain dari Pekalongan, Semarang, Salatiga, Magelang dan lain – lain. Jumlah murid Beliau lebih dari seribu orang. Sayyid Ahmad Muhammad alim mengajarkan tarekat Satariyah. Setelah mengaji, para murid ada yang diperintahkan untuk bekerja membuka hutan, ada yang diperintahkan membuat tempat tinggal ada juga yang bekerja seperti biasanya. Murid – murid yang berasal dari Pekalongan bekerja membuat sinjang ( jarit / kain ), sehingga kemudian daerah Bulus pada waktu itu terkenal dengan sebutan daerah Bang – bangan sinjang ( penghasil jarit / kain ). Mereka yang berasal dari Banjarmasin bekerja membuat aneka perhiasan dari emas dan ada juga yang bekerja sebagai tukang jam.


Laku Spiritual Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo

Sayyid Ahmad Muhammad Alim sering malakukan tirakat puasa mutih, sering tidak makan. Beliau hanya makan sekali dalam sehari. Pakaian yang dikenakan berwarna putih, sering juga mengenakan pakaian berwarna gadung ( hijau ). Ikat pinggangnya terbuat dari pelepah pisang. Apabila mencuci, Sayyid Muhammad Alim menggunakan pace ( mengkudu ) matang sebagai sabunnya. Beliau tidak pernah merokok, melainkan ngganten ( mengunyah sirih ). Postur tubuhnya besar dan tinggi melebihi postur orang yang tinggi besar pada umumnya. Suaranya besar dan hati serta pikirannya legawa / bersahaja.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu melakukan sholat sunnah sehari semalam sebanyak 35 rokaat. Ketika Sholat Awabin sampai 20 rokaat. Sebelum tidur, seusai membaca wirid, beliau selalu bersahadat 3 kali, memohon ampun pada Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu memintakan dan mendoakan agar para keturunannya juga murid – muridnya bisa menjadi orang yang soleh. Beliau juga menjalankan tapa pendhem 40 hari 40 malam, seperti layaknya jenazah yang dikubur, hanya pada bagian atas tepat di bagian kepala diberi sebilah bambu sebagai jalan nafas saat di dalam kubur. Ditengah – tengah lubang tersebut diberi benang yang digunakan untuk isyarat bahwa Beliau masih hidup. Setiap sore benang ditarik yang menandakan bahwa Sayyid masih hidup di dalam kubur. Menurut riwayat, di dalam tapa pendhemnya, Sayyid Ahmad Muhammad Alim mendapatkan isyarat gaib seperti berikut.

Beliau diperintahkan untuk memilih salah satu dari 3 bendera. Bendera tersebut berwarna putih, hijau dan merah. Ada suara gaib yang kemudian memerintahkan untuk memeilih salah satu. Pilihen Kyai ( pilihlah Kyai ) ?. Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim kemudian memilih bendera yang berwarna putih. Setelah memilih salah satu, kemudian suara gaib itu menerangkan sebagai berikut.

Bahwa putih tadi perlambang amal soleh: hijau perlambang materi keduniawian sedangkan merah perlambang dari kekuatan fisik.

Sehingga amanah Beliau untuk semua anak turunnya seperti berikut.

“ Anak turunku ora usah tirakat, asal gelem mantep anggone ngaji, bakal diparingi dadi wong mulya dunya tekan akherat.” ( anak turunku tidak perlu tirakat, asal mantap mengaji akan menjadi orang mulya dunia dan akherat ).

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Ahli Nahwu, Fiqih dan Tafsir. Tiap malam sering dijaga oleh harimau singga 5 ekor. Sering juga dijaga oleh Warak ( sejenis badak ). sehingga rumah dan tanaman Beliau menjadi aman. Di mana tempat yang dianggap angker oleh masyarakat umum, apabila telah ditempati oleh Beliau menjadi aman.Orang yang jahat sekali pun apabila telah bertemu dengan beliau, maka akan menjadi orang soleh. Maka banyak yang menjadi pengikut kemana pun Beliau pindah karena tidak bisa berpisah dengan Sayyid Ahmad Muhammad Alim.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim sering juga menghilang, terutama malam Jumat, akan tetapi di dalam masjid terdengar ada suara bergema jamaah dzikir Satariyah, yang dijaga pula oleh brekasakan hutan.

Setengah riwayat diceritakan bahwa suara dzikir tersebut hingga sekarang masih terdengar saat malam Jumat di makam Beliau. Ada yang bisa melihat, berujud haji sejumlah 40 orang yang rupawan. Untuk melihatnya harus dengan menjalankan sholat sunah dan membaca surat Yaasin terlebih dahulu.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu menyiarkan Islam, hingga menyebar di seluruh Purworejo hingga adanya pesantren di Loning, Pancalan, Tirip, Maron dan lainnya.

Tarekat Satariyah setelah Sayyid Ahmad Muhammad Alim wafat diteruskan oleh Kyai Guru Loning Mukhidinirofingi dan Kyai Muhammad Alim Maron. Kyai Muhammad Alim Maron juga pernah ditangkap Belanda sebab menjalankan tarekat Satariyah, karena dicurigai akan seperti Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim mempunyai badal 2 orang yakni :

1.Ngumar
2.Haji Toha

Akan tetapi setelah wafatnya Sayyid Ahmad Muhammad Alim, Haji Toha kemudian pergi ke Kelang Singapura, dan mungkin mengajarkan Tarekat Satariyah di sana. Para murid juga banyak yang pulang keasalnya masing – masing setelah Beliau wafat, sehingga Bulus pada waktu itu kosong hingga 3 tahunan.

Atas pertolongan Yang Maha Kuasa, ada seorang yang bernama Raden Mas Cokrojoyo ( bupati Purworejo yang pertama ) memerintahkan kepada Ulama yang bertempat tinggal di kampung Madiyokusuman Purworejo bernama R. Syarif Ali untuk menempati daerah Bulus. Keturunannya hingga saat ini masih. Tanah pesantren kemudian diwakafkan kepada yang memimpin di situ untuk meneruskan.


Masa Perjuangan

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus berjiwa pejuang. Pada waktu Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram memerangi Belanda di Batavia ( Jakarta ), yang memberangkatkan Kyai Ageng Gribig Klaten Surakarta, Kyai Sayyid Muhammad Alim menyerahkan para murid pemudanya untuk dijadikan prajurit, yang dipimpin oleh Kyai Ageng Gribig.

Jaman Pangeran Diponegoro ( R.M. Ontowiryo ), Beliau juga dengan sangat halus tanpa diketahui Belanda menyerahkan para santri mudanya untuk dijadikan prajurit. Agar tidak diketahui Belanda, maka Beliau berpindah – pindah tempat. Murid – murid diserahkan pada pertahanan Magelang dan Bagelen, yang dipimpin oleh R. Tumenggung Djoyomustopo yang makamnya di Sindurejan., juga pada R. Syamsyiah ( Pengulu Landrat Pangenjurutengah ).

Riwayat Setelah Perang Berhenti

Sayyid Ahmad Ahmad Muhammad Alim Basaiban masih meneruskan perjuangannya. Setelah Belanda menguasai negara ini hukum yang berlaku adalah sebagai berikut.

1.Orang yang ditangkap kemudian dihukum dengan disalib dan dijemur di terik matahari, kemudian dicor timah panas hingga mati (seperti yang terjadi di Kedung Lo, sebelah barat Tanggung Purworejo)

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban kemudian mengajukan tuntutan agar hukuman itu diubah. Tuntutan tersebut diterima Belanda. Hukuman kemudian berubah menjadi

2.Hukuman Picis di Bong Cina

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban kemudian kembali mengajukan tuntutan agar hukuman itu diubah. Tuntutan tersebut diterima Belanda. Hukuman kemudian berubah menjadi

3.Hukuman Gantung

Semua tuntutannya dibantu oleh Kyai Guru Loning Mukhidinirofingi. Apabila akan mengajukan tuntutan, Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu mengunyah sirih terlebih dahulu, kemudian berpakaian putih atau hijau, kemudian ditandu sebab usianya yang sangat tua. Belanda menganggap Beliau sebagai Pimpinan Pengadilan.

Diceritakan bahwa Kyai Sayyid Muhammad Alim berpindah – pindah hingga28 tempat. Usia Beliau mencapai 280 tahun. Sayyid Ahmad Muhammad Alim wafat pada hari Jumat Pahing tanggal 1 Jumadilakhir tahun B 1262 Hijriyah/1842 Masehi. Beliau dimakamkan di sebelah barat pengimaman masjid Bulus.

Peringatan Haul Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus dilakukan rutin setiap tahun di Bulus Purworejo oleh seluruh anak turunnya.
(kutipan dari saudara rafi ananda, sayyidmuhammadraffie.blogspot.com)

"mbah kholil madura"

Narasumber :
KH. Imam Bukhori ( Pimpinan Pondok Pesantren Ibnu Kholil ), Bangkalan
(Dari buku Biografi K.H Muhammad Kholil)

Mengetahui Pikiran Kiai Noer

Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang memang keharusan para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!" Kholil menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu mengistimewakannya.

Didatangi Macan

Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam "Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua, ada macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya, karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.


Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu satu-satunya angkutan yang menuju Makkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
"Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali" ucap istrinya dengan memelas.
"Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur". Jawab suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah suaminya keluar mencari anggur di sekitar anjungan kapal, nampaknya tidak ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan, meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang suami mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke anjungan kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan ditumpangi. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasehat: "Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya.
"Siapa dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
"Segeralah ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya:
"Ada keperluan apa?"
Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi".
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya: Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?
"Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan." Katanya dengan nada putus asa.
"Kembali lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya" ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan : "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal, apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai, "jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat" kata Kiai Kholil.
Lalu, sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan. Betapa terkejutnya ia melihat apa yang dihadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu ruang kapal.
"Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali" dengan senyuman penuh arti seakan tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami, sekali dalam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

Membetulkan Arah Kiblat

Kiai Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang matang sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu. Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata Ka'bah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi lubang itu, dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang tadi.


Santri Mimpi Dengan Wanita

Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas. Tetapi disebabkan halangan junub, semalaman Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil , istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: "santri kurang ajar..., santri kurang ajar..."
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya untuk pulang kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.


Kiai Kholil Masuk Penjara

Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus. Sebab, jika tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.


Residen Belanda

Suatu hari residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, residen Belanda yang bersimpati kepada Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan. Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat," ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.



Santri Pencuri Pepaya

Pada suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena lapar atau pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok pesantren. Tak lama setelah kejadian itu , santri yang diusir karena mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar berita menarik itu, beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah, celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Orang Arab Dan Macan Tutul

Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba beliau kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah berbasa-basi, beberapa saat, habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air

Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada.

Howang-Howing Jadi Kaya

Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih..... sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.


Obat Aneh

Di daerah Bangkalan banyak terdapat binatang- binatang menyengat yang suka berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat ganas. Binatang ini akan bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di malam hari. Pada suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat kalajengking. Bisa kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya. Beberapa pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus asa, sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil. "Kiai Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya", ujarnya sambil memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu dilihatnya bekas sengatan yang telah membengkak itu kemudian dipegangnya seraya berucap dengan dalam bahasa Madura : "Palak-Pokeh,.... palak-pokeh,....beres, beres", ucap Kiai Kholil sambil menepuk-nepuk bekas sengatan kalajengking. Maka seketika itu, orang itu sembuh, dan melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang menyaksikan di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi : KH. Amin Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).

Rumah Miring

Pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menit demi menit berlalu beberapa orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai. Padahal, menurut jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah. Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi sadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan. Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu seorang jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan, kini si fulan menjadi panutan masyarakat daerah itu.